Andrea Hirata ialah penulis yang menjadi populer dengan karyanya fenomenal yaitu Laskar pelangi yang disusul dengan novel-novel selanjutnya. Meskipun banyak kecaman untuk Andrea Hirata dari para penulis dan sastrawan lain, hal itu tidak menyurutkan sebagian besar terhadapt karya-karya Andrea Hirata. Selain Tetralogi Laskar Pelangi yang mencakup Novel Laskar Pelangi, Novel Kedua Sang Pemimpi, dan Novel Ketiga Edensor yang menceritkan petualangan di aneka macam negara serta novel terakhir dari tetralogi tersebut yang berjudul Maryamah Karpov, Andrea Hirata juga menulis novel-novel lain.
Novel-novel yang ditulis Andrea Hirata Selanjutnya ialah Sebelas Patriot yang berkisah ihwal pemain sepak bola di zaman Hindia Belanda yang juga tak lain ialah ayah ikal. Kemudian ada juga Novel Dwilogi Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas yang bercerita ihwal anak wanita yang mengasihi sangat mengasihi pelajaran bahasa Inggris, serta seorang bujang lapuk alias pemuda renta yang mengasihi wanita tionghoa berjulukan Aling.
Meskipun ada kemiripan tokoh, alur, dan latar dengan novel-novel lain karya Andrea Hirata, yang bercerita ihwal Belitong dan segala kesatiran yang ada di dalamnya (Andrea Hirata tak mau menulis Belitung, mungkin lantaran terlalu menyerupai dengan belatung). Akan tetapi dalam novel Padang Bulan (PB) yang menjadi buku pertama dari dwilogi ini ada sesuatu yang khas, yaitu adanya tokoh Paman yang sangat aneh yang suka mengkritik dan mengolok-olok segala sesuatu, termasuk keadaan sosial politik yang terjadi. Maka dari itu, ada baiknya dibahas mengenai kritik sosial yang ada di dalam novel Padang Bulan karya Andre Hirata.
Kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi yang keempat mempunyai makna kecamatan atau tanggapa, atau kupasan yang terkadang diseertai uraian dan pertimbngan baik jelek terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Pada pada dasarnya kritik ialah bentuk jawaban terhadap sesuatu. Makara yang dimaksud kritik sosial dalam goresan pena ini ialah jawaban baik berupa penyikapan (hanya memberikan pendapat) maupun berupa ketidaksetujuan bahkan cemoohan terhadap fenomena sosial yang ada. Fenomena tersebut mencakup keadaan politik, pendidikan, dan kemasyarakatan.
Kritik terhadap keadaan politik:
.... di depan patung itu sekarang dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan aktivitas mereka. Maka tampaklh sekarang para peuang 45 itu menyerupai ingin menonjok mereka.... (PB halaman 140)
Data di atas merupakan jawaban Andrea Hirata melalui tokoh Ikal yang memikirkan adanya patung di kotanya yang mengepal. Melaui kutipan di atas sanggup diketahui bahwa politisi lebih suka mengumbar janji yang melebih lebihkan (berbusa-busa). Dan, patung yang mewakili para pejuang yang tulus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ingin sekali menghajar para politisi tersebut.
Mereka (para politisi dan pejabat) hanya sanggup berjanji. Bahkan janji-janji yang disampaikan padahal sudah busuk dan usang. Sudah tidak relevan dan terlalu monoton. Hal itu tampak pada data berikut ini:
Bupati silih berganti menyampaikan kampung kami penuh potensi. .... Kata potensi menjadi lagu wajib pidato para bupati dan politisi. (PB halaman 150-151).
.... misi kami pada malam nan kelam itu menghabisi 20 koruptor kakap di negeri ini. ..... . Para koruptor bergelimpangan..... sasaran operasi nomor 7, seorang pimpinan BUMN yang menggelapkan uang lembur operator telepon seluler (PB halaman130).
Paragraf data di atas merupakan kutipan dari kisah Andrea Hirata yang sedang bermimpi. Dalam mimpi pun Andrea Hirata ingin memperlihatkan dan membasmi para koruptor yang menguasai (kelas Kakap) sendi-sendi republik ini, termasuk salah satunya yang ada di BUMN.
Hal di atas sangat berkaitan dengan data berikut ini:
Perasaan seni dan estetika telah menemui jala gelap dan sempit di kantor birokrasi. Semakin lama semakin sempit kemudian buntu. (PB halaman 227)
Sama halnya dengan para pejabat dan politisi, birokrasi juga biasanya sulit dan tak jarang tidak sanggup ditemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapi. Buntu.
Maka dari itu, Andrea Hirata berpesan kepada pembacanya melalui tokoh Paman.
..... Kau sanggup menjadi apa saja..... namun pesanku jangan sekali-sekali kamu jadi politisi, Boi. Nanti semua milikmu disangka dari duit rakyat. (PB halaman 229).
BACA JUGA: BUDAYA MELAYU DALAM NOVEL PADANG BULAN KARYA ANDREA HIRATA
Kritik Terhadap Keadaan Pendidikan.
Keadaan dunia pendidikan di negeri ini juga menerima porsi tersendiri melalui kritikan-kritikan yang muncul dalam Novel Padang Bulan. Masalah pendidikan yang dibahas antara lain ihwal angkatan kerja yang berpendidikan tetapi justru menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan bidangnya.
Tak terbayangkan olehku masa depan republik ini. Anak muda berpendidikan bekerja menjadi pelayan warung kopi. .... demokrasi kita terancam (PB halaman 152).
Data di atas memperlihatkan bahwa pendidikan tidak menjamin seseorang menerima pekerjaan yang layak. Tidak hanya persoalan lulusan yang tidak bekerja sesuai dengan bidangnya, persoalan pndidikan yang menjadi materi kritikan Andrea Hirata pada novel pertama Dwilogi Padang Bulan ialah ihwal guru honorer.
“Maksudku, jika melihat penampilan yang menyerupai guru honorer 16 tahun tak diangkat itu ..... Agak berat masa depanmu di bidang percintaan, Boi!” (PB halaman 228)
Kutipan di atas merupakan omelan Paman kepada Ikal, dari situ secara tidak pribadi dikatakan juga bahwa nasib para guru honorer yang tidak jelas. Tidak terperinci kesejahteraannya meskipun sudah mengabdi sedemikian lama bahkan sudah 16 tahun. Tidak hanya itu, persoalan dalam dunia pendidikan juga dikritik. Hal yang lebih spesifik ialah adanya sekolah abal-abal yang meluluskan dan memperlihatkan gelar akademik kepada lulusannya meskipun tidak pernah sekolah. Hal itu tampak pada iklan-iklan yang dibahas pada halaman 183.
Pada halaman 183 Novel Padang Bulan Karya Andrea Hirata berisi Kritik ihwal iklan yang aneh-aneh. Ada kompor yang sanggup dihidupkan dengan tepuk tangan. Ada iklan sekolah yang mengenalkan sekolahnya tidak perlu tiba ke sekolah. Ada berupa macam iklan kesehatan yang ajaib pula. Katalog buku dari yang religius sederhana hingga ihwal roman picisan yang hanya berisi kemaksiatan. (PB halaman 183).
Kritik terhadap Minimnya Fasilitas untuk Masyarakat
Kurangnya sarana dan prasarana (infrastruktur dasar) untuk warga negeraa juga tak luput dari kritikan Andrea Hirata melalui novel Padang Bulan. Infrastruktur tersebut ialah infrastruktur berupa kurangnya kemudahan transportasi dan keterbatasan sumber informasi yang baik. Kekurangan sarana transportasi dikritik melalui data berikut ini:
.... kulihat para penumpang gelap menyerupai kami sedang naik tangga menuju kapal. (PB halaman 143)
Pada data selanjutnya berikut ini ditunjukkan bahwa keadaan masyarakat masih dicekoki sinetron-sinetron yang tidak berkualitas. Oleh Andrea Hirata disebut dengan Naudzubillah. Naudzubillah merupakan ungkapan keburukukan. Makna dasarnya ialah Cegahlah kami (dari hal itu) Ya Allah.
..... sebab mereka sanggup menonton aktivitas televisi dari negeri yang jauh sehingga tidak hanya dicekoki oleh sinetron naudzu billah itu. (PB halaman 153).
Kritik terhadap diri Sendiri
Tidak hanya memuat kritik untuk pejabat negara dan politisi dan keadaan yang kurang baik. Andrea Hirata juga mengingatkan semua pembaca melalui pesan:
“Waspada, Bujang. Lidah menciptakan dosa semudah bendo menumpas pisang.” (PB halaman 168)
Data di atas merupakan ucapan bibi kepada Ikal. Melalui tokoh bibi yang memang digambarkan sangat bersahaja, mendapatkan keadaan dan tetap tabah dan selalu berpikir konkret terhadap segala sesuatu. Andrea Hirata mengingatkan semua pembacanya untuk berhati-hati dalam berbicara. Karena ucapan sanggup sangat berbahaya.
Dari pembagian terstruktur mengenai di atas, sanggup ditarik kesimpulan secara global bahwa Novel Padang Bulan karya Andrea Hirata mengandung kritik sosial. Kritik sosial tersebut berupa kritik terhadap pejabat negara dan birokrasi, kritik terhadap kurangnya kemudahan yang memadai bagi warga negara, dan kritik terhadap masing-masing individu untuk berhati-hati dalam mengucapkan segala sesuatu. Juga terdap kritik terhadap dunia pendidikan yang masih punya banyak kekurangan.
BACA JUGA: KETIDAKKONSISTENAN ANDREA HIRATA DALAM NOVEL PADANG BULAN
Sumber bacaan:
Dendy, Sugono (Peny.). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi Keempat. Jakarta: Pusat Bahasa & GPU
Hirata, Andrea. 2010. Padang Bulan Cet. ke-3. Yogyakarta: Bentang
Buat lebih berguna, kongsi: