Ramada(H)An Masih Menyisahkan Masalah



Penulisan yang Benar antara Ramadhan, Ramdan, dan Ramadlan

Ketika bulan bulan berkat memasuki detik-detik penghabisan. Memasuki ahad terakhir, sering kita dengar orang (ustaz-ustaz) baik dadakan yang hanya berdinas selama bulan berkat dan paling banter sampai riyoyo kupatan maupun yang konsisten menjadi ustaz sepanjang tahun, berkata, kita layak duka alasannya ialah bulan yang penuh berkah akan segera berakhir, alasannya ialah masih belum tentu lagi kita akan bertemu lagi dengan makhluk yang berjulukan bulan berkat di tahun depan, bahkan ada yang berkata menyampaikan orang saleh menangis kalau bulan berkat akan berakhir.

Bukannya tidak percaya terhadap perkataan para ustaz (baik yang dadakan maupun yang konsisten), saya percaya seratus persen bahwa orang yang saleh akan merasa duka kalau bulan berkat akan berakhir. Karena saya tidak merasa
sedih kalau harus meninggalkan Ramadan, sanggup disimpulkan bahwa saya bukan termasuk dalam golongan saleh. Menurut saya, para ustaz pun (khususnya yang dadakan) juga tidak merasa duka ketika menyambut Syawal dan meninggalkan Ramadan. Buktinya mereka (juga segala bentuk media) berkata ‘mari kita sambut kemenangan’, ‘kita telah kembali fitri (suci)’, ‘kita harus bersyukur telah melalui bulan Ramadan’ dan sebagainya, dan sebagainya. Saya hanya berkata dalam hati, menang mbahmu!! Suci mbahmu!! Awalnya berkata, duka kalau bulan berkat berlalu. Begitu lebaran tiba, eh, malah bersuka cita.

Pengecualian untuk anak kecil, tentu mereka akan senang. Karena pada ketika lebaran menggunakan baju baru, menerima sangu dari sanak saudara serta banyak masakan yang sanggup dimakan tanpa harus membeli. Eenaknyee…. Begitu juga dengan saya. Saya sangat bahagia kalau bulan berkat berakhir, bukan alasannya ialah saya membenci bulan kesembilan Hijriyah ini, tapi alasannya ialah tidak perlu lagi melihat serigala berbulu domba. Tak perlu lagi melihat orang menggunakan jilbab pura-pura, kopyah akal-akalan dan sorban akal-akalan dan akal-akalan yang lainnya.
Semua kembali tampak aslinya, masa ke-TERBUKA-an. Kaprikornus dengan gampang sanggup dibedakan, mana yang benar-benar baik dan menutupi yang seharusnya ditutupi, dan mana yang menutupi hanya untuk mencari sensasi di bulan yang suci (jadi, apakah bulan selain bulan berkat tidak suci alias najis??) yang lebih penting lagi tidak perlu melihat anggota dewan dan para pembesar lainnya berbuka puasa bersama. Saya ragu, mereka iku apa ya sanggup berpuasa? Lha wong kerjanya makan uang rakyat.
***
Apakah orang berbuat baik di bulan berkat salah? Oh, tentu tidak. Samasekali tidak salah. Justru orang yang tidak berbuat baik di bulan ini yang salah. Ada perbuatan ‘baik’ yang aneh yang saya jumpai pada bulan berkat kemarin. Ada sebuah spanduk yang bertuliskan ‘Selamat Menunaikan Ibadah Puasa’, mengucapkan ‘selamat’ berarti mendoakan orang yang berpuasa, tentu ini perbuatan baik. Tapi anehnya, spanduk tersebut justru dipakai sebagai epilog PKL (Pedagang Kaki Lima) yang menjual masakan di tengah hari di depan gedung DPRD Kabupaten Jember. Aneh binti ajaib. Sehingga spanduk itu sanggup dimakanai: selamat bagi Anda yang mengerjakan puasa, biarlah saya didalam sini tidak selamat alasannya ialah tidak berpuasa.

Lalu apa masalahnya? Masalah yang bahwasanya kita hadapi sesudah bulan berkat ialah kesulitan kita untuk tetap menjalankan kebaikan yang kita lakukan selama Ramadan, meminjam istilah A.S. Laksana (kolumnis Jawa Pos), menjaga tetap mempunyai ‘perilaku puasa’ di luar bulan puasa. Masalah lain yang tentu dihadapi orangtua sesudah bulan berkat ialah perjuangan untuk mencari uang untuk menutup hutang sebagai modal lebaran (beli baju, ongkos mudik, beli camilan cantik dsb). Tentu dilema ini hanya berlaku bagi masyarakat menengah ke bawah. Dan, lebih banyak masyarakat kelas bawah daripada kelas atas.

Masalah lain yang ditinggalkan bulan berkat adalah, bahwasanya mana yang benar, ‘Ramadan’ atau ‘Ramadhan’? bahkan ada teman saya yang menulis ‘Ramadlan’? Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis ‘ramadan’ tanpa fonem /h/, tapi masih banyak yang menulis ‘ramadhan’, baik di media, spanduk-spanduk juga pamflet- Mungkin dilema yang terakhir ini hanya akan menjadi dilema segelintir orang saja yang peduli terhadap bahasa.
Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: